Pengembangan Model PNF Sebagai TUPOKSI Pamong Belajar
Salah satu tupoksi Pamong Belajar (PB) adalah melaksanakan
pengembangan model Pendidikan nonformal (sekarang diganti dengan istilah
PAUDNI), Hal ini sejalan dengan keberadaan Pamong Belajar yang diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil sebagai pendidik dengan tugas utama melakukan kegiatan
belajar mengajar. pengkajian program dan pengembangan model pendidikan
nonformal dan informal (PNFI) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan satuan PNFI. namun nyatanya, praktek di
lapangan tidak semua PB terlibat dan dilibatkan menjadi anggota Tim Pengembang
model. Mengapa bisa begitu ?. Padahal perintah Permenpan dan RB sangat jelas
menyiratkan bahwa semua PNS yang menyandang jabatan tenaga fungsional PB
(kecuali PB SKB) harus melaksanakan tupoksinya dalam rangka perolehan angka
kredit sebagai salah satu syarat untuk mengurus kenaikan pangkat dan jabatannya
sehingga jenjang kariernya tidak terhambat. artinya, segoblok-gobloknya PB
harus melaksanakan tupoksi yang salah satunya terlibat dan dilibatkan dalam
kegiatan pengembangan model (karena, teryata di lapangan tidak semua PB yang
selalu terlibat dalam tim pengembangan model itu PB yang pintar dan pandai,
kecuali sekedar cerdik mengolah kalimat dari berbagai reverensi yang
dikumpulkan). Namun sayang, selalu saja ada faktor lain yang mengintervensi
sehingga tidak semua PB terlibat dalam model. kalau sudah begini, pertanyaan
yang muncul adalah, apakah praktek semacam ini bisa dikatakan sebagai
pengingkaran terhadap Keputusan Pemerintah (dalam hal ini permenpan dan RB) ?.
kalau ya, berarti ini masuk pada ranah tindakan melawan hukum dan bisa dikenai
sanksi hukum.
yang jelas pengembangan model itu adalah salah satu tupoksi
PB sesuai permenpan dan RB nomor 15 tahun 2010 tentang jabatan fungsional PB
dan angka kreditnya. dimana, harapannya model sebagai upaya memberikan solusi
yang konstruktif dan inovatif dalam pelaksanaan program PNF. Dengan kata lain,
pengembangan model merupakan upaya menemukan sesuatu yang baru (adaptif dan
inovatif) menurut kaidah dan metode ilmiah tertentu sehingga melahirkan
formulasi yang dikehendaki. Dengan demikian apapun hasilnya, model memang harus
dikerjakan sampai selesai sesuai dengan aturan penyusunan model yang telah
ditetapkan, termasuk dukungan dana yang besarannya sampai ratusan juta dalam
satu tahun anggaran. Proses pengembangan model itu diantaranya adalah kegiatan
identifikasi, penyusunan proposal, seminar design model, penyusunan draft
model, pelaksanaan uji coba model, analisa hasil, penyusunan model dan terakhir
pelaporan sebagai pertanggungjawaban akademis dalam pelaksanaan penyusunan
model, yang dilanjutkan dengan penghitungan rugi laba dana sisa model yang bisa
dibagi sesuai beban kerja serta kadar kepandaian masing-masing anggota tim
pengembang model. Apapun jadinya model, diakhir tahun anggaran harus dilaporkan
bersama laporan akhir penggunaan anggaran dan program kelembagaan. Sehinga
kualitas kurang menjadi perhatian yang penting bisa selamat ketika ada
pemeriksaan dari situkang periksa keuangan. Dampak dari cara kerja penyusunan
model yang begini ini adalah model pengembangan model PNF dari dulu sampai
sekarang masih banyak yang belum layak pakai.
karena senyatanya, kalau mau jujur, model yang disusun belum
menyentuh kebutuhan langsung masyarakat, sehingga sulit dilaksanakan oleh
pengguna model secara mandiri, artinya model baru bisa berjalan dalam koridor
uji coba yang semuanya dikondisikan secara terbatas dengan dukungan dana,
sehingga ketika model itu dicoba digunakan oleh pengguna tanpa didampingi
pengembang model maka langsung tidak jalan karena konon bahasanya sulit
dimengerti oleh masyarakat, terlalu ilmiah dan teoritis (untuk tidak mengatakan
mbulet alur pikirnya).
Hal ini segaris dengan apa yang dikatakan oleh Kepala BPPNFI
(sekarang jadi BPPAUDNI) Surabaya, bahwa kebanyakan model masih mirip novel
yang mendayu-dayu menjanjikan sebuah impian yang indah namun tidak layak terap
di lapangan tidak sesuai dengan kondisi daerah, tidak mudah dipakai oleh bahasa
masyarakat calon pengguna model, sekedar rangkaian kalimat indah dan sekedar
gengsi dan bangga-banggaan bagi tim pengembang model sebagai simbol seolah-olah
manusia intelek.
Kegiatan pengembangan model sebagai Core business Pamong
Belajar senyatanya masih sekedar tumpukan laporan kegiatan. Hasilnya banyak
yang belum layak terap, kurang signifikan dengan besarnya dana yang disediakan,
orientasinya masih sebatas pada program tanpa hirau kepada keterpakaian di lapangan
dalam rangka meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan. Sehingga hasil
yang tampak dari aktivitas pengembangan model adalah masih seputar demi
bangsaku, artinya dana itu masuk rekening bank dan saku celana tim pengembang.
Sebenarnya sudah diupayakan agar berbagai model yang telah
disusun oleh Pamong Belajar itu berdampak nyata bagi masyarakat yang menjadi
sasaran program setelah model tersebut dipakai oleh para pengelola dan tutor
program PNF sebagai User. Dengan kata lain, dalam rangka melihat keterpakaian
model pembelajaran PNF hasil pengembangan yang dilakukan oleh Pamong Belajar
sesuai tutopsinya, maka diupayakan kepada lembaga mitra yang mendapatkan dana
Bantuan Operasional Penyelenggaraan program pendidikan nonformal untuk berkenan
memakai model yang dihasilkan Pamong Belajar dalam proses pembelajarannya,
dengan kata lain lembaga mitra diharapkan bisa mereplikasikan model ke dalam
pembelajarannya dalam rangka memperkaya model pembelajaran pendidikan nonformal
untuk menghasilkan lulusan program yang semakin bermutu dan siap bekerja
sekaligus sebagai bahan perbaikan model selanjutnya yang akan disusun.
Caranya, masing-masing lembaga mitra disuruh memilih sendiri
judul-judul pengembangan model yang tentunya disesuaikan dengan kondisi
setempat. Hampir semua model ditawarkan kepada lembaga mitra dan mereka pun
memilihnya dengan penuh kesadaran serta keyakinan bahwa nanti model pilihannya
bisa dilaksanakan ditempatnya. Model-model yang ditawarkan untuk di replikasi
oleh lembaga mitra disamping model pembelajaran Academic skill melalui
edutainment, diantaranya, (yang dicontohkan disini berdasarkan model yang
dikembangkan oleh Pamong Belajar BPPNFI Surabaya) adalah Model pembelajaran
dengan Cooperative Learning, Model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis
Life Skills, Model keaksaraan ekonomi pada masyarakat sekitar hutan, Model
Outbond anak usia dini, Model pembelajaran General Life Skills bagi nara pidana
masa asimilasi, Model penyelenggaraan kejar paket C dengan pola SKK, Model
pemberdayaan komunitas belajar masyarakat melalui penyelenggaraan KUPP, Model
kursus para profesi terpadu, Model penumbuhan kelompok pemuda wiratani dan
model yang spektakuler bernama Pramuka Saka Widya Bakti dan Batungbingar.
Kemudian, sebelum lembaga mitra menggunakan model
pilihannya, diadakan dulu semacam orientasi untuk memperkenalkan model tersebut
agar semakin paham dalam pelaksanaannya di lapangan nantinya. Namun demikian,
dari hasil pemantauan yang dilakukan saat melakukan monitoring dan evaluasi
(monev), masih banyak lembaga mitra (untuk tidak mengatakan semua lembaga
mitra) yang belum memakai model pilihannya dalam proses pembelajarannya.
Beberapa alasan yang dikemukakan adalah : 1). Mereka belum
bisa memahami sepenuhnya tata cara penggunaan model tersebut. 2). Mereka merasa
model tersebut kurang cocok dengan peserta didik yang dibina. 3). Mereka merasa
model tersebut susah diterapkan. 4). Peserta didik banyak yang tidak mau ketika
tutor mencoba memakai model. 5). Tutor merasa belum pernah diberitahu tentang
model
Kondisi yang demikian itu sebenarnya kurang baik dalam
rangka menumbuhkan profesionalisme pamong belajar, karena kesan yang tampak
bahwa pengembangan model itu hanya sekedar melaksanakan proyek tanpa ada tindak
lanjut penilaian keterpakaiannya di lapangan, tanpa ada evaluasi mengapa model
tidak layak terap. Hal ini lambat laun akan memunculkan sikap asal terlibat
dalam pembuatan model tanpa mempedulikan mutu.
Seharusnya, pihak pimpinan bisa mengkondisikan agar
pengembangan model yang didukung oleh dana besar itu bisa dipakai untuk kurun
waktu tertentu bagi lembaga mitra yang memperoleh dana bantuan dengan sanksi
tegas, berupa teguran jika mereka tidak melaksanakan. Kemudian setelah
pelaksanaan program selesai diadakan evaluasi antara pamong belajar, pihak manajemen
dan lembaga mitra pemakai model untuk saling memberikan masukan tentang
keberadaan model.
Semuanya bisa diatur, seandainya pihak-pihak yang terlibat
dalam pengembangan model memiliki perhatian kepada masalah mutu sebuah produk
(dalam hal ini model pendidikan nonformal) maka dalam merencanakan penyusunan
anggaran pembuatan model pasti akan mengalokasikan dana untuk kepentingan
evaluasi pasca digunakan oleh lembaga mitra.
Sedangkan solusi formalnya agar keberadaan model
pengembangan pendidikan nonformal yang disusun oleh pamong belajar sesuai
dengan tupoksinya yang termuat di dalam Permenpan dan RB nomor 15 tahun 2010,
tentang jabatan fungsional pamong belajar dan angka kreditnya, adalah adanya
aturan atau kebijakan dari pusat yang mengikat agar lembaga mitra, khusunya
yang mendapat bantuan untuk menggunakan model produk pamong belajar dalam
kegiatan pembelajarannya. Mungkin disinilah, peran IPABI untuk membantu
mengurai permasalahan yang mengenaskan ini. Jangan-jangan, turunnya besaran
anggaran tahun ini, salah satunya dikarenakan pihak yang berwenang ngatur
anggaran menilai bahwa insan pendidikan nonformal tidak serius dalam memainkan
dana besar untuk kemaslahatan kaum proletar yang tidak tersentuh pendidikan
formal. [eB]