Minggu, 01 Desember 2013

Pengembangan Model PNF Sebagai TUPOKSI Pamong Belajar


Pengembangan Model PNF Sebagai TUPOKSI Pamong Belajar

Salah satu tupoksi Pamong Belajar (PB) adalah melaksanakan pengembangan model Pendidikan nonformal (sekarang diganti dengan istilah PAUDNI), Hal ini sejalan dengan keberadaan Pamong Belajar yang diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sebagai pendidik dengan tugas utama melakukan kegiatan belajar mengajar. pengkajian program dan pengembangan model pendidikan nonformal dan informal (PNFI) pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan satuan PNFI. namun nyatanya, praktek di lapangan tidak semua PB terlibat dan dilibatkan menjadi anggota Tim Pengembang model. Mengapa bisa begitu ?. Padahal perintah Permenpan dan RB sangat jelas menyiratkan bahwa semua PNS yang menyandang jabatan tenaga fungsional PB (kecuali PB SKB) harus melaksanakan tupoksinya dalam rangka perolehan angka kredit sebagai salah satu syarat untuk mengurus kenaikan pangkat dan jabatannya sehingga jenjang kariernya tidak terhambat. artinya, segoblok-gobloknya PB harus melaksanakan tupoksi yang salah satunya terlibat dan dilibatkan dalam kegiatan pengembangan model (karena, teryata di lapangan tidak semua PB yang selalu terlibat dalam tim pengembangan model itu PB yang pintar dan pandai, kecuali sekedar cerdik mengolah kalimat dari berbagai reverensi yang dikumpulkan). Namun sayang, selalu saja ada faktor lain yang mengintervensi sehingga tidak semua PB terlibat dalam model. kalau sudah begini, pertanyaan yang muncul adalah, apakah praktek semacam ini bisa dikatakan sebagai pengingkaran terhadap Keputusan Pemerintah (dalam hal ini permenpan dan RB) ?. kalau ya, berarti ini masuk pada ranah tindakan melawan hukum dan bisa dikenai sanksi hukum.
yang jelas pengembangan model itu adalah salah satu tupoksi PB sesuai permenpan dan RB nomor 15 tahun 2010 tentang jabatan fungsional PB dan angka kreditnya. dimana, harapannya model sebagai upaya memberikan solusi yang konstruktif dan inovatif dalam pelaksanaan program PNF. Dengan kata lain, pengembangan model merupakan upaya menemukan sesuatu yang baru (adaptif dan inovatif) menurut kaidah dan metode ilmiah tertentu sehingga melahirkan formulasi yang dikehendaki. Dengan demikian apapun hasilnya, model memang harus dikerjakan sampai selesai sesuai dengan aturan penyusunan model yang telah ditetapkan, termasuk dukungan dana yang besarannya sampai ratusan juta dalam satu tahun anggaran. Proses pengembangan model itu diantaranya adalah kegiatan identifikasi, penyusunan proposal, seminar design model, penyusunan draft model, pelaksanaan uji coba model, analisa hasil, penyusunan model dan terakhir pelaporan sebagai pertanggungjawaban akademis dalam pelaksanaan penyusunan model, yang dilanjutkan dengan penghitungan rugi laba dana sisa model yang bisa dibagi sesuai beban kerja serta kadar kepandaian masing-masing anggota tim pengembang model. Apapun jadinya model, diakhir tahun anggaran harus dilaporkan bersama laporan akhir penggunaan anggaran dan program kelembagaan. Sehinga kualitas kurang menjadi perhatian yang penting bisa selamat ketika ada pemeriksaan dari situkang periksa keuangan. Dampak dari cara kerja penyusunan model yang begini ini adalah model pengembangan model PNF dari dulu sampai sekarang masih banyak yang belum layak pakai.
karena senyatanya, kalau mau jujur, model yang disusun belum menyentuh kebutuhan langsung masyarakat, sehingga sulit dilaksanakan oleh pengguna model secara mandiri, artinya model baru bisa berjalan dalam koridor uji coba yang semuanya dikondisikan secara terbatas dengan dukungan dana, sehingga ketika model itu dicoba digunakan oleh pengguna tanpa didampingi pengembang model maka langsung tidak jalan karena konon bahasanya sulit dimengerti oleh masyarakat, terlalu ilmiah dan teoritis (untuk tidak mengatakan mbulet alur pikirnya).
Hal ini segaris dengan apa yang dikatakan oleh Kepala BPPNFI (sekarang jadi BPPAUDNI) Surabaya, bahwa kebanyakan model masih mirip novel yang mendayu-dayu menjanjikan sebuah impian yang indah namun tidak layak terap di lapangan tidak sesuai dengan kondisi daerah, tidak mudah dipakai oleh bahasa masyarakat calon pengguna model, sekedar rangkaian kalimat indah dan sekedar gengsi dan bangga-banggaan bagi tim pengembang model sebagai simbol seolah-olah manusia intelek.
Kegiatan pengembangan model sebagai Core business Pamong Belajar senyatanya masih sekedar tumpukan laporan kegiatan. Hasilnya banyak yang belum layak terap, kurang signifikan dengan besarnya dana yang disediakan, orientasinya masih sebatas pada program tanpa hirau kepada keterpakaian di lapangan dalam rangka meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan. Sehingga hasil yang tampak dari aktivitas pengembangan model adalah masih seputar demi bangsaku, artinya dana itu masuk rekening bank dan saku celana tim pengembang.
Sebenarnya sudah diupayakan agar berbagai model yang telah disusun oleh Pamong Belajar itu berdampak nyata bagi masyarakat yang menjadi sasaran program setelah model tersebut dipakai oleh para pengelola dan tutor program PNF sebagai User. Dengan kata lain, dalam rangka melihat keterpakaian model pembelajaran PNF hasil pengembangan yang dilakukan oleh Pamong Belajar sesuai tutopsinya, maka diupayakan kepada lembaga mitra yang mendapatkan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan program pendidikan nonformal untuk berkenan memakai model yang dihasilkan Pamong Belajar dalam proses pembelajarannya, dengan kata lain lembaga mitra diharapkan bisa mereplikasikan model ke dalam pembelajarannya dalam rangka memperkaya model pembelajaran pendidikan nonformal untuk menghasilkan lulusan program yang semakin bermutu dan siap bekerja sekaligus sebagai bahan perbaikan model selanjutnya yang akan disusun.
Caranya, masing-masing lembaga mitra disuruh memilih sendiri judul-judul pengembangan model yang tentunya disesuaikan dengan kondisi setempat. Hampir semua model ditawarkan kepada lembaga mitra dan mereka pun memilihnya dengan penuh kesadaran serta keyakinan bahwa nanti model pilihannya bisa dilaksanakan ditempatnya. Model-model yang ditawarkan untuk di replikasi oleh lembaga mitra disamping model pembelajaran Academic skill melalui edutainment, diantaranya, (yang dicontohkan disini berdasarkan model yang dikembangkan oleh Pamong Belajar BPPNFI Surabaya) adalah Model pembelajaran dengan Cooperative Learning, Model pembelajaran keaksaraan fungsional berbasis Life Skills, Model keaksaraan ekonomi pada masyarakat sekitar hutan, Model Outbond anak usia dini, Model pembelajaran General Life Skills bagi nara pidana masa asimilasi, Model penyelenggaraan kejar paket C dengan pola SKK, Model pemberdayaan komunitas belajar masyarakat melalui penyelenggaraan KUPP, Model kursus para profesi terpadu, Model penumbuhan kelompok pemuda wiratani dan model yang spektakuler bernama Pramuka Saka Widya Bakti dan Batungbingar.
Kemudian, sebelum lembaga mitra menggunakan model pilihannya, diadakan dulu semacam orientasi untuk memperkenalkan model tersebut agar semakin paham dalam pelaksanaannya di lapangan nantinya. Namun demikian, dari hasil pemantauan yang dilakukan saat melakukan monitoring dan evaluasi (monev), masih banyak lembaga mitra (untuk tidak mengatakan semua lembaga mitra) yang belum memakai model pilihannya dalam proses pembelajarannya.
Beberapa alasan yang dikemukakan adalah : 1). Mereka belum bisa memahami sepenuhnya tata cara penggunaan model tersebut. 2). Mereka merasa model tersebut kurang cocok dengan peserta didik yang dibina. 3). Mereka merasa model tersebut susah diterapkan. 4). Peserta didik banyak yang tidak mau ketika tutor mencoba memakai model. 5). Tutor merasa belum pernah diberitahu tentang model
Kondisi yang demikian itu sebenarnya kurang baik dalam rangka menumbuhkan profesionalisme pamong belajar, karena kesan yang tampak bahwa pengembangan model itu hanya sekedar melaksanakan proyek tanpa ada tindak lanjut penilaian keterpakaiannya di lapangan, tanpa ada evaluasi mengapa model tidak layak terap. Hal ini lambat laun akan memunculkan sikap asal terlibat dalam pembuatan model tanpa mempedulikan mutu.
Seharusnya, pihak pimpinan bisa mengkondisikan agar pengembangan model yang didukung oleh dana besar itu bisa dipakai untuk kurun waktu tertentu bagi lembaga mitra yang memperoleh dana bantuan dengan sanksi tegas, berupa teguran jika mereka tidak melaksanakan. Kemudian setelah pelaksanaan program selesai diadakan evaluasi antara pamong belajar, pihak manajemen dan lembaga mitra pemakai model untuk saling memberikan masukan tentang keberadaan model.
Semuanya bisa diatur, seandainya pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan model memiliki perhatian kepada masalah mutu sebuah produk (dalam hal ini model pendidikan nonformal) maka dalam merencanakan penyusunan anggaran pembuatan model pasti akan mengalokasikan dana untuk kepentingan evaluasi pasca digunakan oleh lembaga mitra.
Sedangkan solusi formalnya agar keberadaan model pengembangan pendidikan nonformal yang disusun oleh pamong belajar sesuai dengan tupoksinya yang termuat di dalam Permenpan dan RB nomor 15 tahun 2010, tentang jabatan fungsional pamong belajar dan angka kreditnya, adalah adanya aturan atau kebijakan dari pusat yang mengikat agar lembaga mitra, khusunya yang mendapat bantuan untuk menggunakan model produk pamong belajar dalam kegiatan pembelajarannya. Mungkin disinilah, peran IPABI untuk membantu mengurai permasalahan yang mengenaskan ini. Jangan-jangan, turunnya besaran anggaran tahun ini, salah satunya dikarenakan pihak yang berwenang ngatur anggaran menilai bahwa insan pendidikan nonformal tidak serius dalam memainkan dana besar untuk kemaslahatan kaum proletar yang tidak tersentuh pendidikan formal. [eB]